cerita dewasa 2018
Poker V Online

Rabu, 27 Juni 2018

Juni 27, 2018 Posted by Unknown No comments Posted in , , ,
Posted by Unknown on Juni 27, 2018 with No comments | Categories: , , ,

Dipaksa Ngeseks Dengan Teman Kuliahku

Aku memang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup berada. Aku anak laki laki satu-satuya. Dan juga anak terakhir. Dua kakakku perempuan semuanya. Dan jarak umur antara kami cukup jauh juga. Antara lima dan enam tahun. Karena anak bungsu dan juga satu-satunya laki laki, jelas sekali kalo aku sangat dimanja. Apa saja yang aku inginkan, pasti dikabulkan. Seluruh kasih sayang tertumpah padaku.


Dari kecil aku selalu dimanja, sampai besarpun aku terkadang masih suka minta dikeloni. Aku suka kalo tidur sembari memeluk Ibu, Mbak Nisa atau Mbak Indri. Namun aku tak suka kalo dikeloni Bapak. Entah kenapa, mungkin badan Bapak besar dan tangannya ditumbuhi rambut-rambut halus yang cukup lebat. Padahal Bapak paling sayang padaku. Karena apapun yang yang aku ingin minta, selalu saja diberikan. Aku memang tumbuh menjadi anak yang manja. Dan sikapku juga terus seperti anak balita, meski umurku sudah cukup dewasa.

Pernah aku menangis semalaman dan mengurung diri di dalam kamar hanya karena Mbak Indri menikah. Aku tak rela Mbak Indri jadi milik orang lain. Aku benci dengan suaminya. Aku benci dengan semua orang yang bahagia melihat Mbak Indri diambil orang lain. Setengah mati Bapak dan Ibu membujuk serta menghiburku. Bahkan Mbak Indiri menjanjikan macam-macam agar aku tak terus menangis. Memang tingkahku tak ubahnya seorang anak balita.


Tangisanku baru berhenti setelah Bapak berjanji akan membelikanku motor. Padahal aku sudah punya mobil. Namun memang sudah lama aku ingin dibelikan motor. Hanya saja Bapak belum bisa membelikannya. Kalo mengingat kejadian itu memang menggelikan sekali. Bahkan aku sampai tertawa sendiri. Habis lucu sih.., Soalnya waktu Mbak Indri menikah, umurku sudah 21 tahun.


Hampir lupa, Saat ini aku masih kuliah. Dan kebetulan sekali aku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup keren. Di kampus, sebenarnya ada seorang perempuan yang perhatiannya padaku begitu besar sekali. Namun aku sama sekali tak tertarik padanya. Dan aku selalu menganggapnya sebagai kawan biasa saja. Padahal banyak kawan-kawanku, terutama yang laki laki bilang kalo perempuan itu menaruh hati padaku.


Sebut saja namanya Nidya. Punya wajab cantik, kulit yang putih seperti kapas, badan yang ramping dan padat berisi serta dada yang membusung dengan ukuran cukup besar. Sebenarnya banyak laki laki yang menaruh hati dan mengharapkan cintanya. Namun Nidya malah menaruh hati padaku. Sedangkan aku sendiri sama sekali tak peduli, tetap menganggapnya hanya kawan biasa saja. Namun Nidya tampaknya juga tak peduli. Perhatiannya padaku malah semakin bertambah besar saja. Bahkan dia sering main ke rumahku, Bapak dan Ibu juga senang dan berharap Nidya bisa jadi kekasihku.

Begitu juga dengan Mbak Nisa, sangat cocok sekali dengan Nidya Namun aku tetap tak tertarik padanya. Apalagi sampai jatuh cinta. Anehnya, hampir semua kawan mengatakan kalo aku sudah pacaran dengan Nidya, Padahal aku merasa tak pernah pacaran dengannya. Hubunganku dengan Nidya memang akrab sekali, meskipun tak bisa dikatakan berpacaran.


Seperti biasanya, setiap hari Sabtu sore aku selalu mengajak Robby, anjing pudel kesayanganku jalan-jalan mengelilingi Monas. Perlu diketahui, aku memperoleh anjing itu dan Mas Herlambang, suaminya Mbak Indri. Karena pemberiannya itu aku jadi menyukai Mas Herlambang. Padahal tadinya aku benci sekali, karena menganggap Mas Herlambang telah merebut Mbak Indri dan sisiku. Aku memang mudah sekali disogok. Apalagi oleh sesuatu yang aku sukai. Karena sikap dan tingkah laku sehari-hariku masih, dan aku belum bisa bersikap atau berpikir secara dewasa.

Tanpa diduga sama sekali, aku bertemu dengan Nidya. Namun dia tak sendiri. Nidya bersama Mamanya yang umurnya mungkin sebaya dengan Ibuku. Aku tak canggung lagi, karena memang sudah saling mengenal. Dan aku selalu memanggilnya Tante Amanda.


“Bagus sekali anjingnya..”, piji Tante Amanda.
“Iya, Tante. diberi sama Mas Herlambang”, sahutku bangga.
“Siapa namanya?” tanya Tante Amanda lagi.
“Robby”, sahutku tetap dengan nada bangga.

Tante Amanda meminjamnya sebentar untuk berjalan-jalan. Karena terus-menerus memuji dan membuatku bangga, dengan hati dipenuhi kebanggaan aku meminjaminya. Sementara Tante Amanda pergi membawa Robby, aku dan Nidya duduk di bangku taman dekat patung Pangeran Diponegoro yang menunggang kuda dengan gagah. Tak banyak yang kami obrolkan, karena Tante Amanda sudah kembali lagi dan memberikan Robby padaku sembari terus-menerus memuji. Membuat dadaku jadi berbunga dan padat seperti mau meledak. Aku memang paling suka kalo dipuji.


Oh, ya.., Nanti malam kamu datang..”, ujar Tante Amanda sebelum pergi.

“Ke rumah..?”, tanyaku memastikan.
“Iya.”
“Memangnya ada apa?” tanyaku lagi.
“Nidya ulang tahun. Namun nggak mau dirayakan. Katanya cuma mau merayakannya sama kamu”, kata Tante Amanda Iangsung memberitahu.
“Kok Nidya nggak bilang sih..?”, aku mendengus sembari menatap Nidya yg jadi memerah wajahnya. Nidya hanya diam saja.
“Jangan lupa jam tujuh malam, ya..” kata Tante Amanda mengingatkan.
“Iya, Tante”, sahutku.


Dan memang tepat jam tujuh malam aku datang ke rumah Nidya. Suasananya sepi-sepi saja. Tak terlihat ada pesta. Namun aku disambut Nidya yang memakai baju seperti mau pergi ke pesta saja. Tante Amanda dan Oom Joko juga berpakaian seperti mau pesta. Namun tak terlihat ada seorangpun tamu di rumah ini kecuali aku sendiri. Dan memang benar, ternyata Nidya berulang tahun malam ini. Dan hanya kami berempat saja yang merayakannya.

Perlu diketahui kalo Nidya adalah anak tunggal di dalam keluarga ini. Namun Nidya tak manja dan bisa mandiri. Acara ulang tahunnya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Selesai makan malam, Nidya membawaku ke balkon rumahnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.


Entah disengaja atau tak, Nidya membiarkan sebelah pahanya tersingkap. Namun aku tak peduli dengan paha yang indah padat dan putih terbuka cukup lebar itu. Bahkan aku tetap tak peduli meskipun Nidya menggeser duduknya hingga hampir merapat denganku. Keharuman yang tersebar dari badannya tak membuatku bergeming.

Nidya mengambil tanganku dan menggenggamnya. Bahkan dia meremas-remas jari tanganku. Namun aku diam saja, malah menatap wajahnya yang cantik dan begitu dekat sekali dengan wajahku. Begitu dekatnya sehingga aku bisa merasakan kehangatan hembusan napasnya menerpa kulit wajahku. Namun tetap saja aku tak merasakan sesuatu.


Dan tiba-tiba saja Nidya mencium bibirku. Sesaat aku tersentak kaget, tak menygka kalo Nidya akan seberani itu. Aku menatapnya dengan tajam. Namun Nidya malah membalasnya dengan sinar mata yang saat itu sangat sulit ku artikan.

“Kenapa kau menciumku..?” tanyaku polos.
“Aku mencintaimu”, sahut Nidya agak ditekan nada suaranya.
“Cinta..?” aku mendesis tak mengerti.


Entah kenapa Nidya tersenyum. Dia menarik tanganku dan menaruh di atas pahanya yg tersingkap Cukup lebar. Meskipun malam itu Nidya mengenakan rok yang panjang, namun belahannya hampir sampai ke pinggul. Sehingga pahanya jadi terbuka cukup lebar. Aku merasakan betapa halusnya kulit paha perempuan ini. Namun sama sekali aku tak merasakan apa-apa.

Dan sikapku tetap dingin meskipun Nidya sudah melingkarkan tangannya ke leherku. Semakin dekat saja jarak wajah kami. Bahkan badanku dengan badan Nidya sudah hampir tak ada jarak lagi. Kembali Nidya mencium bibirku. Kali ini bukan hanya mengecup, namun dia melumat dan mengulumnya dengan penuhl gairah. Sedangkan aku tetap diam, tak memberikan reaksi apa-apa. Nidya melepaskan pagutannya dan menatapku, Seakan tak percaya kalo aku sama sekali tak bisa apa-apa.


“Kenapa diam saja..?” tanya Nidya merasa kecewa atau menyesal karena telah mencintai laki-laki sepertiku.

Namun tak.., Nidya tak menampakkan kekecewaan atau penyesalan Justru dia mengembangkan senyuman yg begitu indah dan manis sekali. Dia masih melingkarkan tangannya ke leherku. Bahkan dia menekan dadanya yang membusung padat ke dadaku.

Terasa padat dan kenyal dadanya. Seperti ada denyutan yang hangat. Namun aku tak tahu dan sama sekali tak merasakan apa-apa meskipun Nidya menekan dadanya cukup kuat ke dadaku. Seakan Nidya berusaha untuk membangkitkan gairah kejantananku. Namun sama Sekali aku tak bisa apa-apa. Bahkan dia menekan dadanya yang membusung padat ke dadaku.


“Memangnya aku harus bagaimana?” aku malah balik bertanya.
“Ohh..”, Nidya mengeluh panjang.

Dia seakan baru benar-benar menyadari kalo aku bukan hanya tak pernah pacaran, namun masih sangat polos sekali. Nidya kembali mencium dan melumat bibirku. Namun sebelumnya dia memberitahu kalo aku harus membalasnya dengan cara-cara yang tak pantas untuk disebutkan. Aku coba untuk menuruti keinginannya tanpa ada perasaan apa-apa.

“Ke kamarku, yuk..”, bisik Nidya mengajak.
“Mau apa ke kamar?”, tanyaku tak mengerti.
“Sudah jangan banyak tanya. Ayo..”, ajak Nidya setengah memaksa.
“Namun apa nanti Mama dan Papa kamu tak marah, Lin?”, tanyaku masih tetap tak mengerti keinginannya.


Nidya tak menyahuti, malah berdiri dan menarik tanganku. Memang aku seperti anak kecil, menurut saja dibawa ke dalam kamar perempuan ini. Bahkan aku tak protes ketika Nidya mengunci pintu kamar dan melepaskan bajuku. Bukan hanya itu saja, dia juga melepaskan celanaku hingga yang tersisa tinggal sepotong celana dalam saja Sedikitpun aku tak merasa malu, karena sudah biasa aku hanya memakai celana dalam saja kalo di rumah.

Nidya memandangi badanku dan kepala sampai ke kaki. Dia tersenyum-senyum. Namun aku tak tahu apa arti semuanya itu. Lalu dia menuntun dan membawanya ke pembaringan. Nidya mulai menciumi wajah dan leherku. Terasa begitu hangat sekali hembusan napasnya.

“Nidya..”


Aku tersentak ketika Nidya melucuti pakaiannya sendiri, hingga hanya pakaian dalam saja yang tersisa melekat di badannya. Kedua bola mataku sampai membeliak lebar. Untuk pertama kalinya, aku melihat sosok badan sempurna seorang perempuan dalam keadaan tanpa busana. Entah kenapa, tiba-tiba saja dadaku berdebar menggemuruh Dan ada suatu perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyelinap di dalam hatiku.

Sesuatu yang sama sekali aku tak tahu apa namanya, Bahkan seumur hidup, belum pernah merasakannya. Debaran di dalam dadaku semakin keras dan menggemuruh saat Nidya memeluk dan menciumi wajah serta leherku. Kehangatan badannya begitu terasa sekali. Dan aku menurut saja saat dimintanya berbaring. Nidya ikut berbaring di sampingku. Jari-jari tangannya menjalar menjelajahi sekujur badanku. Dan dia tak berhenti menciumi bibir, wajah, leher serta dadaku yang bidang dan sedikit berbulu.


Tergesa-gesa Nidya melepaskan penutup terakhir yang melekat di badannya. sehingga tak ada selembar benangpun yang masih melekat di sana. Saat itu pandangan mataku jadi nanar dan berkunang-kunang. Bahkan kepalaku terasa pening dan berdenyut menatap badan yang polos dan indah itu. Begitu rapat sekali badannya ke badanku, sehingga aku bisa merasakan kehangatan dan kehalusan kulitnya. Namun aku masih tetap diam, tak tahu apa yang harus kulakukan. Nidya mengambil tanganku dan menaruh di dadanya yg membusung padat dan kenyal.

Dia membisikkan sesuatu, namun aku tak mengerti dengan permintaannya. Sabar sekali dia menuntun jari-jari tanganku untuk meremas dan memainkan bagian atas dadanya yang berwarna coklat kemerahan. Tiba-tiba saja Nidya. menjambak rambutku, dan membenamkan Wajahku ke dadanya. Tentu saja aku jadi gelagapan karena tak bisa bernapas. Aku ingin mengangkatnya, namun Nidya malah menekan dan terus membenamkan wajahku ke tengah dadanya. Saat itu aku merasakan sebelah tangan Nidya menjalar ke bagian bawah perutku.


“Okh..?!”.

Aku tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba merasakan jari-jari tangan Limda menyusup masuk ke balik celana dalamku yang tipis, dan..

“Nidya, apa yg kau lakukan..?” tanyaku tak mengerti, sembari mengangkat wajahku dari dadanya.

Nidya tak menjawab. Dia malah tersenyum. Sementara perasaan hatiku semakin tak menentu. Dan aku merasakan kalo bagian badanku yang vital menjadi tegang, keras dan berdenyut serasa hendak meledak. Sedangkan Nidya malah menggenggam dan meremas-remas, membuatku mendesis dan merintih dengan berbagai macam perasaan berkecamuk menjadi satu. Namun aku hanya diam saja, tak tahu apa yang harus kulakukan. Nidya kembali menghujani wajah, leher dan dadaku yang sedikit berbulu dengan ciuman-ciumannyayang hangat dan penuh gairah membara.


Memang Nidya begitu aktif sekali, berusaha membangkitkan gairahku dengan berbagai macam cara. Berulang kali dia menuntun tanganku ke dadanya yang kini sudan polos.

“Ayo dong, jangan diam saja..”, bisik Nidya disela-sela tarikan napasnya yang memburu.
“Aku.., Apa yg harus kulakukan?” tanyaku tak mengerti.
“Cium dan peluk aku..”, bisik Nidya.

Aku berusaha untuk menuruti semua keinginannya. Namun nampaknya Nidya masih belum puas. Dan dia semakin aktif merangsang gairahku. Sementara bagian bawah badanku semakin menegang serta berdenyut.


Entah berapa kali dia membisikkan kata di telingaku dengan suara tertahan akibat hembusan napasnya yang memburu seperti lokomotif tua. Namun aku sama sekali tak mengerti dengan apa yang d bisikkannya. Waktu itu aku benar-benar bodoh dan tak tahu apa-apa. Meski sudah berusaha melakukan apa saja yaang dimintanya.

Sementara itu Nidya sudah menjepit pinggangku dengan sepasang pahanya yang putih mulus. Nidya berada tepat di atas badanku, sehingga aku bisa melihat seluruh lekuk badannya dengan jelas sekali.


Entah kenapa tiba-tiba sekujur badanku menggelelar ketika penisku tiba-tiba menyentuh sesuatu yang lembab, hangat, dan agak basah. Namun tiba-tiba saja Nidya memekik, dan menatap bagian penisku. Seakan-akan dia tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya. Sedangkan aku sama sekali tak mengerti. PadahaI waktu itu Nidya sudah dipengaruhi gejolak membara dengan badan polos tanpa sehelai benangpun menempel di badannya.

“Kau..”, desis Nidya terputus suaranya.
“Ada apa, Lin?” tanyaku polos.

“Ohh..”, Nidya mengeluhh panjang sembari menggelimpangkan badannya ke samping. Bahkan dia langsung turun dari pembaringan, dan menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai. Sembari memandangiku yang masih terbaring dalam keaadaan polos, Nidya mengenakan lagi pakaiannya. Waktu itu aku melihat ada kekecewaan tersirat di dalam sorot matanya. Namun aku tak tahu apa yang membuatnya kecewa.


“Ada apa, Lin?”, tanyaku tak mengerti perubahan sikapnya yang begitu tiba-tiba.
“Tak.., tak ada apa-apa, sahut Nidya sembari merapihkan pakaiannya.

Aku bangkit dan duduk di sisi pembaringan. Memandangi Nidyayang sudah rapi berpakaian. Aku memang tak mengerti dengan kekecewannya. Nidya memang pantas kecewa, karena alat kejantananku mendadak saja layu. Padahal tadi Nidya sudah hampir membawaku mendaki ke puncak kenikmatan.



0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

About